Selasa, 23 Desember 2014

farmakokinetika sediaan obat melalui rectal, parenteral, mata, paru-paru dan kulit.



BAB I
PENDAHULUAN

   1.1 Latar Belakang
                 Obat dapat diberikan kepada pasien dengan berbagai cara, antara lain : peroral, perektal, parenteral, topikal, dan lain-lain. Cara pemberian obat dipilih yang tepat agar efek obat atau hasil pengobatan sesuai dengan yang diinginkan. Disamping itu, perlu dipahami dan dilaksanakan secara benar oleh penderita. Oleh karenanya dokter penulis resep, perlu memberikan penjelasan secara lisan kepada pasien, dan ditulis secara jelas dalam resep.
                Berapa kali (frekuensi) obat diberikan, perlu mepertimbangkan faktor farmakokinetik obat, bentuk sediaan yang dipilih, dan yang paling mudah dilaksanakan pasien, agar pasien semakin taat mengikuti jadwal pemberian obat. Waktu yang tepat minum obat perlu diperhatikan, agar obat memberikan efek yang optimal, aman, dan mudah diikuti pasien.
               obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit.
              Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak.
             Disamping faktor formulasi, cara pembarian obat turut menentukan kacepatan dan kelengkapan resorpsi obat. tergantung pada efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek local (setempat), keadaan pasien dan banyak cara untuk memeberikan obat antara lain melalui rektum, mata, paru-paru, kulit dan parenteral yang akan dibahas dalam makalah ini.



     1.2 Tujuan
          Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
a. Untuk mengetahui biofarmasi sediaan obat melalui rectal, parenteral, mata, paru-paru dan kulit.
b.  Untuk dapat memahami berbagai sediaan obat yang diberikan melalui rectum, mata, paru-paru, kulit dan parenteral
c. Untuk menyelesaikan tugas dari dosen Mata Kuliah Farmakologi dasar.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengantar  Tentang Obat
          Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat yang telah dituliskan pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Penetapan diagnosa
2) Untuk pencegahan penyakit
3) Menyembuhkan penyakit
4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6) Peningkatan kesehatan
7) Mengurangi rasa sakit
a. Farmakokinetika
           Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya(ADME). Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak.
1) Absorpsi dan Bioavailabilitas
            Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
2) Distribusi
                Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalammlemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
3) Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4) Ekskresi
             Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian  Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen,pada kedokteran forensik.
b. Farmakodinamika
               Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
1) Mekanisme Kerja Obat
              Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.
2) Reseptor Obat
            Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3) Transmisi Sinyal Biologis
             Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4) Interaksi Obat-Reseptor
             Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.
5) Antagonisme Farmakodinamika
              Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.
6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor
              Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
7) Efek Obat
                Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.
       2.1 Sediaan Obat Melalui Rektum
       Penggunaan rute rektal untuk obat adalah untuk tujuan memperoleh efek lokal dan efek sistemik. Bentuk sadiaan obat yang digunakan adalah larutan, supositoria dan salep. Penggunaan salep pada rektum dimaksudkan untuk efek local, sedang berupa yang larutan digunakan untuk larutan pembersih.
       Penggunaan salep pada rektum dimaksudkan untuk efek lokal dan sistemik. Pengunaan salep rektal umumnya terbatas pada keadaan setempat. Bila supusitoria dimasukan kedalam rektum maka akan melunak atau larut dalam cairan rektum. Rektum dan kolom mampu menyerap banyak obat yang diberikan secara rektal untuk tujuan memperoleh efek sistemik, hal ini dapat menghindari perusakan obat atau obat menjadi tidak aktif karena pengaruh lingkungan perut dan usus. Juga memberi obat per-rektal dilakukan bila pasien muntah atau sulit menelan obat.    
       Absorpsi pemakaian melalui Rektum, obat yang di absorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dulu hingga tidak mengalami detoksikasi atau bio-transformasi yang mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif, karena bagian yang di absorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta. Akan tetapi kuosien absopsi umumnya jelas lebih rendah dari pada pemakaian secara oral dan di samping itu terdapat penyimpangan dalam individu dan antar individu.
                 Kerugiaan pemberian obat melalui rectum adalah tidak menyenangkan dan absorpsi obatnya tidak teratur dan sukar diramalkan.   Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh, asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat.

    2.2 Sediaan Obat Melalui Mata
       larutan dan suspensi untuk mata adalah sediaan berair yang steril, dengan kualitas lain, yang penting untuk keamanan dan kesenangan pasien. Salep mata harus steril dan juga bebas dari butiran-butiran yang kasar. Sediaan untuk mata biasanya tidak digunakan untuk efek sistemik walaupun sediaan untuk mata diabsorpsi dalam jumlah besar.
       Absorpsi pemakaian pada mata, Pada pemakaian pada mata, sejauh obat harus menembus bagian dalam mata, baik struktur lipofil maupun struktur hidrofil harus ditembusi. Epitel kornea dan endotel kornea berfungsi sebagai pembatas lipofil, sedangkan hanya zat-zat hidrofil yang dapat berdifusi melalui stroma. Dengan demikian kondisi penembusan akan sangat menguntungkan untuk obat apabila obat tersebut menunjukkkan sifat lipofil dan hidrofil bersama-sama. Ini terutama terjadi pada asam lemah dan basa lemahyang sebagian dalam bentuk tak terionisasi sehingga bersifat larut dalam lemak dan sebagian dalam bentuk terionisasi sehingga bersifat larut dalam air.
2.3 Sediaan Obat Melalui Paru-paru
       Paru-paru merupakan daerah absorpsi yang baik pada penggunaan sediaan gas atau kabut dari aerosol dengan pertikel yang sngat halus dari cairan atau padatan. Gas yang digunakan terutama adalah oksigen dan obat-obat enestetika umum yang biasa diberikan kepada pasien yang akan di operasi karena adanya daerah kapiler dan alveoli paru-paru yang luas dapat mengabsorpsi obat dan member efek secara cepat. Ukuran partikel dapt menentukan kemampuaan penetrasinya kedalam alveoli paru-paru. Makin kecil ukuran partikel makin tinggi ukuran penetrasinya.
       Absorpsi melalui paru-paru, Yang cocok  untuk absorpsi melalui paru-paru ialah terutama zat dalam bentuk gas. Walaupun paru-paru dengan luas permukaan alveolarnya yang besar (70-100m2) mampu juga mengabsorpsi cairan dan zat padat, aerosol berfungsi terutama untuk terapi lokal dalam daerah saluran pernafasan (misalnya pengobatan asma bronkhus).
      Gas, zat terbang, atau larutan sering kali diberikan dengan inhalasi (aerosol), yaitu obat yang disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol. semprotan obat dihirup dengan udara dan diresorpsi terjadi oleh mukosa mulut, tenggorokan dan saluran nafas. tanpa melalui hati obat dengan cepat memasuki peredaran darah dan menghasilkan efeknya.
       Mengenai partikel obat ukurannya sebagian besar menentukan kedalaman penetrasi obat kedalam alveoli daya melarutnya, tingkat mana obat tersebut diabsorpsi. Setelah kontak dengan permukaan bagian dalam dari paru-paru, partikel obat yang tidak larut ditahan dalam lendir dan bergerak ke atas dalam btang paru-paru jarena kerja dari rambut-rambut yang halus. Partikel obat yang dapat larut berukuran kira-kira 0,5 sampai 1,0 µ mencapai kantung-kantung alveoli yang sangat kecil dan memberikan efek sistemik yang paling cepat dan efisien. Partikel-partikel yang lebih kecil dari 0,5 µ berakhir pada beberapa tingkatan, jadi absorpsinya tidak sempurna tapi bervariasi. Partikel-pertikel dengan ukuran 1 sampai 10 µ   mencapai akhir dari bronkiole dengan efektif dan kebeberapa bagian saluran alveolar dan membantu pengobatan setempat.
2.4 Sediaan Obat Melalui Kulit
       Penggunaan obat untuk kulit dimaksudkan untuk efek local tidak untuk sistemik. Bentuk sediaan yang digunakan untuk kulit adalah salep, krim, pasta dengan basis yang bermacam-macam dan mempunyai sifat yang bermacam-macam seperti hidrofil suka air atau hidrofob. Tiap obat menghendaki basis yang cocok dan tidak ada basis yang bersifat umum karena ini berhubungan dengan sifat fisika dan kimia obat dengan basis. Basis harus mudah melepaskan obatnya bila salep digunakan pada kulit agar obat dapat diserap melalui kulit.
Sediaan farmasi yang digunakan pada kulit adalah untuk memberi aksi lokal dan aksinya dapat lama pada tempat yang sakit dan sedikit mungkin diabsorpsi. Oleh karena itu sediaan untuk obat biasanya pemakaian pada kulit digunakan sebagai anti septik, anti fungi, anti inflamasi, anestetik lokal, amolien, pelindung terhadap sinar matahari, udara dan iritasi zat kimia dan biasanya bentuk sediannya berupa salep, krim dan pasta, sedangkan sediaan lain yang juga dugunakan adalah berupa serbuk tabur, aerosol, semprot, larutan, lotion.
Bila diinginkan pemakaian topikal dalam bentuk cairan lain dari solution maka lotoilah yang paling serimg digunakan. Lotio biasanya berupa suspensi dari bahan-bahan padat dalam suatu pembawa air, walaupun emulsi-emulsi tertentu dan juga beberapa solution yang sesungguhnya, diberi tanda sebagai lotio baik karena rupanya maupun karena pemakaiannya. Lotio mungkin lebih disukai dripada sediaan semi solid karena sifatnya yang tidak berminyak dan kemampuan menyebar yang ditingkatkan pada permukaan kulit yang luas.
       Absorpsi pemakaian pada kulit, Absorpsi melalui kulit, yang secara fisiologi tidak memiliki fungsi absorpsi, terjadi terutama transepidermal, disamping transfolikular, tapi kemampuan absorpsi melalui kulit utuh mungkin lebih rendah dibandingkan melalui mukosa.
       Stratum korneum yang tidak mengandung kapiler dengan kandungan air yang sangat sedikit (sekitar 10%) merupakan sawar absorpsi tertinggi pada pemakaian pada kulit dimiliki oleh zat yang terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukkan sedikit larut dalam air. Zat hidrofil serta lemak dan minyak hanya sedikit diabsorpsi oleh kulit. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi absorpsi kulit. Kenaikan suhu kulit menambahkan kemampuan penetrasi zat yang dipakai melalui kerja panas dari luar. Demikian juga rangsangan yang menyebabkan hiperemi atau beberapa zat pelarut seperti dimetilsulfoksid, dapat memperbaiki absorpsi. Pada daerah kulit yang meradang, jumlah absorpsi dipertinggi.
       Sratum korneum dan dengan demikian sawar absorpsi dapat sihilangkan oleh kerusakan mekanis, kimia atau termal dari permukaan kulit pada cedera, melepuh atau terbakar. Selanjutnya dibuktikan perbedaan absorpsi melalui kulit yang bergantung pada usia. Pada pemakaian topikal dari salep yang mengandung glukukortikoidum pada eksem anak-anak seharusnya tidak digunakan glukokortukoidum yang bekerja kuat. Demikian juga pada usia tua, ketebalan dari stratum korneum rendah (kulit keras), karena itu berlaku aturan yang sama. Beberapa tahun yang lalu, kulit sebagai organ absorpsi untuk obat-obat yang bekerja sistemik tak mempunyai arti yang besar, sekarang dicoba dalam ukuran yang meningkat, dengan kemajuan bentuk-bentuk sediaan yang cocok, untuk memanfaatkan kulit sebagai tempat pemberian.
       Akan tetapi karena disini ketelapan kulit terbatas, hal ini hanya cocok untuk senyawa dengan dosis rendah (dosis harian sampai 10mg), dan tampaknya pemakaian melalui kulit berguna hanya jika bahan obat yang digunakan, disamping itu menunjukkan first pass effect yang tinggi dan atau memiliki waktu paruh plasma rendah.
       Kerja sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pada pemakaian, misalnya glukokortikoidum pada permukaan kulit yang luas, misalnya pemakaian perkutan secara luas obat yang menyebabkan hiperemi, sebagai obat gosok, pada penyakit reumatik menyebabkan sedikit hasil terapeutik yang diinginkan.
2.5 Sediaan Obat Melalui Parenteral
       Istilah parenteral berasal dari bahasa Greek yaitu para yang berarti disamping, dan enteron yang berarti luas, dimana keduannya menunjukkan sesuatu yang diberikan diluar dari usus dan tidak melalui sistem saluran makanan. Istilah parental yang lain ialah injeksi. Parenteral adalah bahasa latin yang artinya diluar usus.
       Obat yang diberikan dengan cara perenteral adalah sesuatu yang disuntikan melalaui lubang jarum yang runcing kedalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan bermacam-macam kedalaman.
      Biasanya dipilih sediaan melalui parenteral bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung (hormon), atau tidak di resorpsi usus (streptomisin), begitu pula pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya adalah lebih mahal dan nyeri, sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu, ada pula bahaya terkena unfeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat.
Sediaan obat melalui parenteral dapat diberikan melaui, antara lain :
 a. Subkutan (hypodermal). Injeksi dibawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuskular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya insulin pada pasien penyakit gula.
b.  Intrakutan (=di dalam kulit) absobsi sangat lambat, misalnya injeksi tuberkolin dari mantoux.
c.  Intramuskular(i.m) dengan injeksi didalam otot, obat yang terlarut berlangsung dalam waktu 10-30 menit. Guna memperlambat resopsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan atau suspensi dalam minyak, umpamanya suspensi penisilin dan hormon kelamin. Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot pantat yang tidak memiliki banyak pembuluh dan saraf.
d. Intravena (i.v) injeksi kedalam pembulih darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar keseluruh jaringan.  Tetapi lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut dalam air atau manimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.
           Bahaya injeksi i.v adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloida darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini benda asing langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila inkelsi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah maningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi i.v sebaiknya dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya.
e   Intra-arteri, injeksi kepembuluh nadi adakalanya dilakukan untuk “membanjiri” suatu organ, misalnya hati, dengan obat yang sangat cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan, misalnya obat kanker nitrogenmustard..
f.  Intralumbal (antara ruas tulang belakang pinggang), intraperitoneal (ke dalam ruang selaput perut), intrapleural (selaput dada), intracardial (jantung), dan intra-artikuler(ke celah-celah sendi) adalah beberapa cara injeksi lainnya untuk memasukkan obat langsung ke tempat yang diinginkan.
       Absorpsi pada pemakaian parental, Pada pemberian obat secara parental ke dalam kulit, jaringan ikat subkutan atau ke dalam otot,kecepatan absorbsi sangat tergantung sangat bergantung kepada pasokan darah dari jaringan. Pasokan dari otot sebaliknya bergantung kepada aktifitas otot yang bersangkutan. Apabila bahan aktif yang disuntikkan secara intra moskular umumnya diabsorbsi dengan cepat dari otot serat lintang yang dialiri darah dengan baik, maka pada keadaan syok absorpsi sangat menurun. Pada bagian kapiler, absorbs dipermudah oleh oleh pori endotel.karena dinding kapiler demikian dengan jari-jari pori sekitar 3 µm merupakan suatu pembatas absorbsi yang lebih lemah dari lapisan epitel maka zat yang tak larut lemak,atau hidrofil dapat juga berdifusi dengan cepat melalui kapiler. Hal ini mungkin saja untuk senyawa dengan bobot molekul tinggi, sebaiknya makromolekul tidak mampu menembus dinding kapiler.
       Absorpsi melalui cara perenteral tidak saja lebih cepat dari sesudah pemberian oral, tapi kadar obat dalam darah yang dihasilkan jauh lebih bisa diramalkan, karena sedikit yang hilang sesudah penyuntikan subkutan atau intrmuskular dan benar-benar tidak ada yang hilang pada penyuntikan intravena, secara umum ini juga memungkinkan pemberian dosis yang lebih cepat.





BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari hasil  pembahasan terdahulu , maka dapat ditarik kesipulan bahwa Obat dapat diberikan kepada pasien dengan berbagai cara, antara lain : peroral, perektal, parenteral, topikal, dan lain-lain. Cara pemberian obat dipilih yang tepat agar efek obat atau hasil pengobatan sesuai dengan yang diinginkan. Disamping itu, perlu dipahami dan dilaksanakan secara benar oleh penderita.  
3.2   Saran
        Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat disarankan sebagai berikut :
a.       dokter penulis resep, perlu memberikan penjelasan secara lisan kepada pasien, dan ditulis secara jelas dalam resep;
b.      penderita perlu memahami dan melaksanakan dangan tepat pemberian obat yang digunakan dalam pengobatan;
c.       Pada pemberian melalui parenteral sebaiknya diperhatikan  efek penggunaan yang diinginkan, cepat atau lambat;





DAFTAR PUSTAKA


Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung : Institut Teknologi Bandung
Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta : Gramedia
Ansel, Howard. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV.  Jakarta : Universitas Indonesia
           http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id

 




1 komentar:

  1. Baccarat: The Complete Guide for Beginners - FEBCASINO
    Learn how to play Baccarat. Learn how to play 바카라 Baccarat from the beginner to 인카지노 the master of Baccarat. worrione How to play the game. Learn how to play

    BalasHapus