BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat
dapat diberikan kepada pasien dengan berbagai cara, antara lain : peroral,
perektal, parenteral, topikal, dan lain-lain. Cara pemberian obat dipilih yang
tepat agar efek obat atau hasil pengobatan sesuai dengan yang diinginkan.
Disamping itu, perlu dipahami dan dilaksanakan secara benar oleh penderita.
Oleh karenanya dokter penulis resep, perlu memberikan penjelasan secara lisan
kepada pasien, dan ditulis secara jelas dalam resep.
Berapa kali (frekuensi) obat diberikan,
perlu mepertimbangkan faktor farmakokinetik obat, bentuk sediaan yang dipilih,
dan yang paling mudah dilaksanakan pasien, agar pasien semakin taat mengikuti
jadwal pemberian obat. Waktu yang tepat minum obat perlu diperhatikan, agar
obat memberikan efek yang optimal, aman, dan mudah diikuti pasien.
obat
adalah zat yang digunakan untuk
diagnosis,
mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau
hewan. Obat
dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka
farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk
seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat
menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan
penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat
mengakibatkan berbagai gejala penyakit.
Obat
yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses
farmakokinetika dan berjalan serentak.
Disamping faktor formulasi, cara
pembarian obat turut menentukan kacepatan dan kelengkapan resorpsi obat.
tergantung pada efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh)
atau efek local (setempat), keadaan pasien dan banyak cara untuk memeberikan
obat antara lain melalui rektum, mata, paru-paru, kulit dan parenteral yang
akan dibahas dalam makalah ini.
1.2 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
a. Untuk mengetahui biofarmasi sediaan obat
melalui rectal, parenteral, mata, paru-paru dan kulit.
b.
Untuk dapat memahami berbagai sediaan
obat yang diberikan melalui rectum, mata, paru-paru, kulit dan parenteral
c. Untuk menyelesaikan tugas dari dosen Mata
Kuliah Farmakologi dasar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengantar Tentang Obat
Obat
merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan.
Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan
komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting
dalam pelayanan kesehatan
karena
penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat yang telah dituliskan
pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai
berikut:
1)
Penetapan diagnosa
2)
Untuk pencegahan penyakit
3)
Menyembuhkan penyakit
4)
Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5)
Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6)
Peningkatan kesehatan
7)
Mengurangi rasa sakit
a.
Farmakokinetika
Farmakokinetika
merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresinya(ADME).
Obat
yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses
farmakokinetika dan berjalan serentak.
1)
Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua
istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat
dari tempat pemberian, menyangkut
kelengkapan
dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari
jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting
ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam
persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua
yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi
sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding
ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya
melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or
elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat
demikian mempunyai bioavailabilitas oral
yang tidak begitu tinggi meskipun
absorpsi
oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas
menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme
obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat
dihindari atau dikurangi dengan cara
pemberian
parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal,
atau memberikannya bersama makanan.
2)
Distribusi
Setelah
diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain
tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera
setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung,
hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya,
distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan
jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah
waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena
celah antarsel endotel kapiler
mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam
lemak akan melintasi membran sel dan
terdistribusi
ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalammlemak akan sulit
menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di
cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada
protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai
keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas
obat terhadap protein, kadar
obat,
dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada
malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
3)
Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi
atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul
obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air
dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi
melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif,
sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat.
Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak
toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru
diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya
berakhir. Enzim
yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya
dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum
endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom),
dan enzim non-mikrosom. Kedua macam
enzim
metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel
jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4)
Ekskresi
Obat
dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada
ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di
glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif
di tubuli proksimal dan distal.
Ekskresi
obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu
diturunkan atau intercal pemberian Bersihan kreatinin
dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian
obat. Ekskresi
obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam
jumlah yang
relatif kecil sekali sehingga tidak
berarti
dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik,
misalnya arsen,pada kedokteran forensik.
b. Farmakodinamika
Farmakodinamika
mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat
ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan
sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang
terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi
rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
1)
Mekanisme Kerja Obat
Efek
obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan
respons
khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional
yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh. Kedua,
bahwa
obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang
sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih
berlaku sampai sekarang.
Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang
ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa
endogen disebut agonis. Sebaliknya,
senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara
kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist
binding site) disebut antagonis.
2)
Reseptor Obat
Struktur
kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas
intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya
perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya.
Pengetahuan mengenai hubungan
struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis
obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif
terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat
dengan protein seluler lain
membentuk
sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3)
Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran
sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler
(extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis
yang spesifik. Sistem hantaran
ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di
dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini
bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel
ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma
ialah steroid (adrenal dan
gonadal), tiroksin, vit. D.
4)
Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan
antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan
ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan
jarang berupa ikatan kovalen.
5)
Antagonisme Farmakodinamika
Secara
farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik
dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada
reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan
peristiwa pengurangan atau
penghapusan
efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat
yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi
atau ditiadakan disebut agonis.
Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek,
sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat
presipitan.
6)
Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor
Dalam
menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini
mungkin mengubah sifat cairan tubuh,
berinteraksi
dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
7)
Efek Obat
Efek
obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat
kerja obat.
2.1 Sediaan Obat Melalui Rektum
Penggunaan rute rektal untuk obat adalah
untuk tujuan memperoleh efek lokal dan efek sistemik. Bentuk sadiaan obat yang
digunakan adalah larutan, supositoria dan salep. Penggunaan salep pada rektum
dimaksudkan untuk efek local, sedang berupa yang larutan digunakan untuk
larutan pembersih.
Penggunaan salep pada rektum dimaksudkan
untuk efek lokal dan sistemik. Pengunaan salep
rektal umumnya terbatas pada keadaan setempat. Bila supusitoria dimasukan kedalam rektum maka akan melunak atau larut
dalam cairan rektum. Rektum dan kolom mampu menyerap banyak obat yang diberikan
secara rektal untuk tujuan memperoleh efek sistemik, hal ini dapat menghindari
perusakan obat atau obat menjadi tidak aktif karena pengaruh lingkungan perut
dan usus. Juga memberi obat per-rektal dilakukan bila pasien muntah atau sulit
menelan obat.
Absorpsi
pemakaian melalui Rektum, obat yang di absorpsi melalui rektal
beredar dalam darah tidak melalui hati dulu hingga tidak mengalami detoksikasi
atau bio-transformasi yang mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif,
karena bagian yang di absorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung mencapai
vena cava inferior dan tidak melalui vena porta. Akan tetapi kuosien absopsi
umumnya jelas lebih rendah dari pada pemakaian secara oral dan di samping itu
terdapat penyimpangan dalam individu dan antar individu.
Kerugiaan pemberian obat melalui rectum adalah tidak menyenangkan dan
absorpsi obatnya tidak teratur dan sukar diramalkan. Cara penggunaannya
melalui dubur atau anus. Tujuannya
mempercepat
kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral sulit/tidak dapat
dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas
pertama. Contoh, asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat.
2.2 Sediaan Obat Melalui Mata
larutan dan suspensi untuk mata adalah
sediaan berair yang steril, dengan kualitas lain, yang penting untuk keamanan
dan kesenangan pasien. Salep mata harus steril dan juga bebas dari
butiran-butiran yang kasar. Sediaan untuk mata biasanya tidak digunakan untuk efek
sistemik walaupun sediaan untuk mata diabsorpsi dalam jumlah besar.
Absorpsi
pemakaian pada mata, Pada pemakaian
pada mata, sejauh obat harus menembus bagian dalam mata, baik struktur lipofil
maupun struktur hidrofil harus ditembusi. Epitel
kornea dan endotel kornea berfungsi sebagai pembatas lipofil, sedangkan hanya zat-zat
hidrofil yang dapat berdifusi melalui stroma. Dengan demikian kondisi
penembusan akan sangat menguntungkan untuk obat apabila obat tersebut
menunjukkkan sifat lipofil dan hidrofil bersama-sama. Ini terutama terjadi pada
asam lemah dan basa lemahyang sebagian dalam bentuk tak terionisasi sehingga
bersifat larut dalam lemak dan sebagian dalam bentuk terionisasi sehingga
bersifat larut dalam air.
2.3
Sediaan Obat Melalui Paru-paru
Paru-paru merupakan daerah absorpsi yang
baik pada penggunaan sediaan gas atau kabut dari aerosol dengan pertikel yang
sngat halus dari cairan atau padatan. Gas yang digunakan terutama adalah
oksigen dan obat-obat enestetika umum yang biasa diberikan kepada pasien yang
akan di operasi karena adanya daerah kapiler dan alveoli paru-paru yang luas
dapat mengabsorpsi obat dan member efek secara cepat. Ukuran partikel dapt
menentukan kemampuaan penetrasinya kedalam alveoli paru-paru. Makin kecil
ukuran partikel makin tinggi ukuran penetrasinya.
Absorpsi
melalui paru-paru, Yang cocok untuk absorpsi melalui paru-paru ialah terutama
zat dalam bentuk gas. Walaupun paru-paru dengan
luas permukaan alveolarnya yang besar (70-100m2) mampu juga mengabsorpsi
cairan dan zat padat, aerosol berfungsi terutama untuk terapi lokal dalam
daerah saluran pernafasan (misalnya pengobatan asma bronkhus).
Gas, zat terbang, atau larutan sering
kali diberikan dengan inhalasi (aerosol), yaitu obat yang disemprotkan ke dalam
mulut dengan alat aerosol. semprotan obat dihirup dengan udara dan diresorpsi
terjadi oleh mukosa mulut, tenggorokan dan saluran nafas. tanpa melalui hati
obat dengan cepat memasuki peredaran darah dan menghasilkan efeknya.
Mengenai partikel obat ukurannya
sebagian besar menentukan kedalaman penetrasi obat kedalam alveoli daya
melarutnya, tingkat mana obat tersebut diabsorpsi. Setelah kontak dengan
permukaan bagian dalam dari paru-paru, partikel obat yang tidak larut ditahan dalam
lendir dan bergerak ke atas dalam btang paru-paru jarena kerja dari
rambut-rambut yang halus. Partikel obat yang dapat larut berukuran kira-kira
0,5 sampai 1,0 µ mencapai kantung-kantung alveoli yang sangat kecil dan
memberikan efek sistemik yang paling cepat dan efisien. Partikel-partikel yang
lebih kecil dari 0,5 µ berakhir pada beberapa tingkatan, jadi absorpsinya tidak
sempurna tapi bervariasi. Partikel-pertikel dengan ukuran 1 sampai 10 µ mencapai akhir dari bronkiole dengan efektif
dan kebeberapa bagian saluran alveolar dan membantu pengobatan setempat.
2.4
Sediaan Obat Melalui Kulit
Penggunaan obat untuk kulit dimaksudkan
untuk efek local tidak untuk sistemik. Bentuk sediaan yang digunakan untuk
kulit adalah salep, krim, pasta dengan basis yang bermacam-macam dan mempunyai
sifat yang bermacam-macam seperti hidrofil suka air atau hidrofob. Tiap obat
menghendaki basis yang cocok dan tidak ada basis yang bersifat umum karena ini
berhubungan dengan sifat fisika dan kimia obat dengan basis. Basis harus mudah
melepaskan obatnya bila salep digunakan pada kulit agar obat dapat diserap
melalui kulit.
Sediaan farmasi
yang digunakan pada kulit adalah untuk memberi aksi lokal dan aksinya dapat
lama pada tempat yang sakit dan sedikit mungkin diabsorpsi. Oleh karena itu
sediaan untuk obat biasanya pemakaian pada kulit digunakan sebagai anti septik,
anti fungi, anti inflamasi, anestetik lokal, amolien, pelindung terhadap sinar
matahari, udara dan iritasi zat kimia dan biasanya bentuk sediannya berupa
salep, krim dan pasta, sedangkan sediaan lain yang juga dugunakan adalah berupa
serbuk tabur, aerosol, semprot, larutan, lotion.
Bila diinginkan
pemakaian topikal dalam bentuk cairan lain dari solution maka lotoilah yang
paling serimg digunakan. Lotio biasanya berupa suspensi dari bahan-bahan padat
dalam suatu pembawa air, walaupun emulsi-emulsi tertentu dan juga beberapa
solution yang sesungguhnya, diberi tanda sebagai lotio baik karena rupanya
maupun karena pemakaiannya. Lotio mungkin lebih disukai dripada sediaan semi
solid karena sifatnya yang tidak berminyak dan kemampuan menyebar yang
ditingkatkan pada permukaan kulit yang luas.
Absorpsi
pemakaian pada kulit, Absorpsi melalui
kulit, yang secara fisiologi tidak memiliki fungsi absorpsi, terjadi terutama
transepidermal, disamping transfolikular, tapi kemampuan absorpsi melalui kulit
utuh mungkin lebih rendah dibandingkan melalui mukosa.
Stratum
korneum yang tidak mengandung kapiler dengan kandungan air yang sangat sedikit
(sekitar 10%) merupakan sawar absorpsi tertinggi pada pemakaian pada kulit
dimiliki oleh zat yang terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukkan
sedikit larut dalam air. Zat hidrofil serta lemak dan minyak hanya sedikit
diabsorpsi oleh kulit. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi absorpsi kulit.
Kenaikan suhu kulit menambahkan kemampuan penetrasi
zat yang dipakai melalui kerja panas dari luar. Demikian juga rangsangan yang
menyebabkan hiperemi atau beberapa zat pelarut seperti dimetilsulfoksid, dapat
memperbaiki absorpsi. Pada daerah kulit yang meradang, jumlah absorpsi
dipertinggi.
Sratum korneum dan dengan
demikian sawar absorpsi dapat sihilangkan oleh kerusakan mekanis, kimia atau
termal dari permukaan kulit pada cedera, melepuh atau terbakar. Selanjutnya
dibuktikan perbedaan absorpsi melalui kulit yang bergantung pada usia. Pada
pemakaian topikal dari salep yang mengandung glukukortikoidum pada eksem
anak-anak seharusnya tidak digunakan glukokortukoidum yang bekerja kuat.
Demikian juga pada usia tua, ketebalan dari stratum korneum rendah (kulit
keras), karena itu berlaku aturan yang sama. Beberapa tahun yang lalu, kulit
sebagai organ absorpsi untuk obat-obat yang bekerja sistemik tak mempunyai arti
yang besar, sekarang dicoba dalam ukuran yang meningkat, dengan kemajuan
bentuk-bentuk sediaan yang cocok, untuk memanfaatkan kulit sebagai tempat
pemberian.
Akan
tetapi karena disini ketelapan kulit terbatas, hal ini hanya cocok untuk
senyawa dengan dosis rendah (dosis harian sampai 10mg), dan tampaknya pemakaian
melalui kulit berguna hanya jika bahan obat yang digunakan, disamping itu
menunjukkan first pass effect yang
tinggi dan atau memiliki waktu paruh plasma rendah.
Kerja
sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pada pemakaian, misalnya
glukokortikoidum pada permukaan kulit yang luas, misalnya pemakaian perkutan
secara luas obat yang menyebabkan hiperemi, sebagai obat gosok, pada penyakit
reumatik menyebabkan sedikit hasil terapeutik yang diinginkan.
2.5 Sediaan Obat Melalui Parenteral
Istilah
parenteral berasal dari bahasa Greek yaitu para
yang berarti disamping, dan enteron yang berarti luas, dimana keduannya
menunjukkan sesuatu yang diberikan diluar dari usus dan tidak melalui sistem
saluran makanan. Istilah parental yang lain ialah injeksi. Parenteral adalah
bahasa latin yang artinya diluar usus.
Obat yang
diberikan dengan cara perenteral adalah sesuatu yang disuntikan melalaui lubang
jarum yang runcing kedalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan bermacam-macam
kedalaman.
Biasanya
dipilih sediaan melalui parenteral bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan
lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung
(hormon), atau tidak di resorpsi usus (streptomisin), begitu pula pada pasien
yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya adalah lebih mahal
dan nyeri, sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu, ada pula bahaya
terkena unfeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf
jika tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat.
Sediaan obat melalui parenteral dapat diberikan melaui,
antara lain :
a. Subkutan
(hypodermal). Injeksi dibawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang
tidak merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat
injeksi intramuskular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya insulin
pada pasien penyakit gula.
b. Intrakutan
(=di dalam kulit) absobsi sangat lambat, misalnya injeksi tuberkolin dari
mantoux.
c. Intramuskular(i.m) dengan injeksi didalam
otot, obat yang terlarut berlangsung dalam waktu 10-30 menit. Guna memperlambat
resopsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan
atau suspensi dalam minyak, umpamanya suspensi penisilin dan hormon kelamin.
Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot pantat yang tidak memiliki banyak
pembuluh dan saraf.
d. Intravena (i.v) injeksi kedalam pembulih darah
menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik, yaitu waktu satu peredaran
darah, obat sudah tersebar keseluruh jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya hanya singkat.
Cara ini digunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya,
atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut dalam air
atau manimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.
Bahaya injeksi i.v adalah dapat
mengakibatkan terganggunya zat-zat koloida darah dengan reaksi hebat, karena
dengan cara ini benda asing langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya
tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila
inkelsi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah
maningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi i.v sebaiknya
dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya.
e
Intra-arteri, injeksi kepembuluh nadi adakalanya dilakukan untuk
“membanjiri” suatu organ, misalnya hati, dengan obat yang sangat cepat
diinaktifkan atau terikat pada jaringan, misalnya obat kanker nitrogenmustard..
f. Intralumbal
(antara ruas tulang belakang pinggang), intraperitoneal (ke dalam ruang selaput
perut), intrapleural (selaput dada), intracardial (jantung), dan
intra-artikuler(ke celah-celah sendi) adalah beberapa cara injeksi lainnya
untuk memasukkan obat langsung ke tempat yang diinginkan.
Absorpsi pada pemakaian parental, Pada pemberian obat
secara parental ke dalam kulit, jaringan ikat subkutan atau ke dalam
otot,kecepatan absorbsi sangat tergantung sangat bergantung kepada pasokan
darah dari jaringan. Pasokan dari otot sebaliknya bergantung kepada aktifitas
otot yang bersangkutan. Apabila bahan aktif yang disuntikkan secara intra
moskular umumnya diabsorbsi dengan cepat dari otot serat lintang yang dialiri
darah dengan baik, maka pada keadaan syok absorpsi sangat menurun. Pada bagian
kapiler, absorbs dipermudah oleh oleh pori endotel.karena dinding kapiler demikian
dengan jari-jari pori sekitar 3 µm merupakan suatu pembatas absorbsi yang lebih
lemah dari lapisan epitel maka zat yang tak larut lemak,atau hidrofil dapat
juga berdifusi dengan cepat melalui kapiler. Hal ini mungkin saja untuk senyawa
dengan bobot molekul tinggi, sebaiknya makromolekul tidak mampu menembus
dinding kapiler.
Absorpsi melalui cara perenteral tidak
saja lebih cepat dari sesudah pemberian oral, tapi kadar obat dalam darah yang
dihasilkan jauh lebih bisa diramalkan, karena sedikit yang hilang sesudah
penyuntikan subkutan atau intrmuskular dan benar-benar tidak ada yang hilang
pada penyuntikan intravena, secara umum ini juga memungkinkan pemberian dosis
yang lebih cepat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan
terdahulu , maka dapat ditarik kesipulan bahwa Obat dapat diberikan kepada
pasien dengan berbagai cara, antara lain : peroral, perektal, parenteral,
topikal, dan lain-lain. Cara pemberian obat dipilih yang tepat agar efek obat
atau hasil pengobatan sesuai dengan yang diinginkan. Disamping itu, perlu
dipahami dan dilaksanakan secara benar oleh penderita.
3.2 Saran
Berdasarkan
kesimpulan tersebut, maka dapat disarankan sebagai berikut :
a. dokter
penulis resep, perlu memberikan penjelasan secara lisan kepada pasien, dan
ditulis secara jelas dalam resep;
b. penderita perlu memahami dan melaksanakan dangan tepat
pemberian obat yang digunakan dalam pengobatan;
c. Pada pemberian melalui parenteral sebaiknya
diperhatikan efek penggunaan yang
diinginkan, cepat atau lambat;
DAFTAR PUSTAKA
Mutschler,
Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi
dan Toksikologi. Bandung : Institut Teknologi Bandung
Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta : Gramedia
Ansel, Howard. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV. Jakarta : Universitas Indonesia
Baccarat: The Complete Guide for Beginners - FEBCASINO
BalasHapusLearn how to play Baccarat. Learn how to play 바카라 Baccarat from the beginner to 인카지노 the master of Baccarat. worrione How to play the game. Learn how to play